PERENCANAAN DARI DIMENSI TINGKATAN TEKNIK PERENCANAAN
DI SUSUN OLEH
NAMA : MOH.TAUFIK
NIM : 09.1.03.0387
JURUSAN TARBIYAH (KI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN)
DATOKARAMA PALU
2011
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut diucapkan selain mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah swt. Yang menciptakan langit dan bumi segala isinya, serta masih memberikan kita sekalian kesehatan dan kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang cukup singkat dengan judul ”PERENCANAAN DARI DIMENSI TINGKATAN TEKNIK PERENCANAAN ”
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad saw yang mana perjuangan beliau hingga tetesan darah yang mengalir hanya untuk ummatnya, sehingga membawa ummat yang dari alam gelap ke alam terang benderang.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna,mengingat manusia tidak pernah luput dari kesalahan, dan kami juga berterima kasih kepada dosen yang selama ini ikhlas dalam memberikan mata kuliah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya pada kami, kami harap kritik dan saran yang membangun, agar kedepan lebih baik dalam pembuatan makalah.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................i
DAFTAR ISI ........................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang …………………………………………………..........................1
B. Rumusan masalah...................................................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Perencanaan dari dimensi tingkatan teknik perencanaan.................................2
B. Tahap perencanaan ...............................................................................................3
C. Tahap perumusan rencana....................................................................................4
D. Tahap elaborasi rencana........................................................................................5
E. Tahap implementasi rencana.................................................................................5
F. Tahap evaluasi, revisi dan perencanaan kembali.................................................6
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………….............................7
B. Saran ……………………………………………………………...........................7
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..........................8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perencanaan atau yang sudah akrab dengan istilah planning adalah satu dari fungsi management yang sangat penting. Bahkan kegiatan perencanaan ini selalu melekat pada kegiatan hidup kita sehari-hari, baik disadari maupun tidak. Sebuah rencana akan sangat mempengaruhi sukses dan tidaknya suatu pekerjaan. Karena itu pekerjaan yang baik adalah yang direncanakan dan sebaiknya kita melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah perencanaan dari dimensi tingkatan teknik perencanaan ?
2. Bagaimanakah tahap-tahap perencanaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perencanaan dari demensi tingkatan teknik perencanaan
Dalam demensi ini kita mengenal istilah (a) perencanaan makro (b) perencaan mikro (c) perencanaan sektoral (d) perencaan kawasan dan (e) perencaan proyek. Perencaan makro meliputi peningkatan pendapatan nasional, tingkat konsumsi, investasi pemerintah dan masyarakat, ekspor impor, pajak, perbankan dsb. Perencanaan mikro disusun dan disesuaikan dengan kondisi daerah. Perencanaan kawasan memperhatikan keadaan lingkungan kawasan tertentu sebagai pusat kegiatan dengan keunggulan komparatif dan kompetitif. Perencanaan proyek adalah perencanaan operasional kebijakan yang dapat menjawab siapa melakukan apa, dimana, bagaimana dan mengapa.
Hampir semua negara di kawasan asia mempunyai jenis organisasi untuk merncanakan pendidkan. Jika mereka tidak memilikinya,maka tahap permulaan atau tahap praperencanaan harus mulai dengan :
a. Pembentukan organisasi perencanaan yang sesuai
b. Penentuan prosedur perencanaan
c. Reorganisasi sstruktural mengenai mesin administratif pendidikan untuk berpartisipasi dalam perumusan dan implementasi rencana, dan
d. Menentukan mekanisme dan prosedur untuk mengumpulkan dan menganalisis data statistik dan lain-lainnya yang diperlukan bagi perencanaan.
Jika hal ini telah di selesaikan,aktivitas pra perencanaan yang pokok adalah harus memiliki tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan oleh mereka yang berwenanang ( approprite autthority ).
B. Tahap perencanaan
tahap ini meliputi enam langkah pokok :
a. Diagnosis
Setelah tujuan-tujuan pendidikan nasional dirumuskan, langkah pertama yang harus dilakukan oleh perencanaan pendidikan ialah memastikan apakah usaha pendidikan ialah memastikan apakah usaha pendidikan nasional sekarang ini memadai, relevan dan mendatangkan hasil yang baik.ini dilakukan dengan menghadapkan atau mencocokkan output usaha pendidikan dengan tujuan dn mencatat perbedaan yang menonjol. Latihan ini dinamakan diagnosis dan mengarahkan kepada kita untuk mengindentifikasi kelemahan dan kekurangan dalam sifat, luas, kualitas, organisasi serta tingkat penampilan aktivitas-aktivitas pendidikan pendidikan nasional. Kriteria untuk diagnosisini mutlak ditemukan oleh tujuan pendidikan nasional
b. Perumusan kebijaksanaan
Diagnosis tentang situasi pendidikan sekarang ini yang menunjukan kelamahan dan kekurangan-kekurangan perlu dikoreksi.sehingga mengarah atau mencapai relevansi,efektivitas dan efesiensi. Tindakan korektif harus didasarkan pada suatu kebijaksanaan yang harus dikaji untuk menunjukan kerangka kerja umum dimana keputusan-keputusan yang lebih rinci harus dilakukan.
c. Perkiraan kebutuhan masa depan
Sesudah tujuan di modifikasi serta prinsip-prinsip kegiatan ditentukan berdasrkan kebijakan, perencanaan pendidikan harus memperkirakan kebutuhan sistem pendidikan dimasa yang akan datang. Dengan kata lain untuk mencapai tujuan, kita perlu mengantisipasi apa yang dibutuhkan pada masa mendatang.
d. Pembiayaan kebutuhan masa depan
Langkah berikut dalam tahap perencanaan adalah menetapkan biaya bagi kebutuhan-kebutuhan di masa depan dengan menggunakan data pembiayaan yang terbaik yang tersedia, setiap kelompok kebutuhannya dibiayai dengan pertimbanagan fluktuasi/naik turunnya harga sebagai simpulan dai latihan ini, perencanaan mengetahui keseluruhan anggaran yang harus tersedia jika semua kebutuhan harus dipenuhi.
e. Penentuan perioritas data seperangkat sasaran ( target )
Pada saat menganalisis data untuk maksud perencanaan. Perencanaan pendidikn harus memperhatikan sumber-sumber yang tersedia bagi pengembangan pendidikan dari berbagai sumber. Baik dari pemerintah maupun non pemerintah,dari dalam negeri maupun dari luar. Jika data ini diekstrapolasi untuk masa depan,ia akan memiliki suatu ide tentang sumber-suumber yang secara rasional dapat diantisipasi atas dasar kecenderungan masa lampau.
f. Uji kelayakan
Sasaran ditetapkan sesuai kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diprioritaskan. Namun perhatian yang sungguh-sungguh terhadap sasaran diperlukan untuk menjamin apakah hal itu sering kali terjadi dan dapat dikerjakan dengan mudah.
C. Tahap Perumusan Rencana
Tujuan perencanaan terutama ada dua, yakni.
a. Menyajikan seperangkat keputusan kepada mereka yang secara nasional berwenang untuk persetujuan. Dan
b. Menyiapkan suatu rencana atau cetak biru tindakan oleh macam-macam lembaga yang bertanggungjawab dalam melksanakan keputusan-keputusan ini.
Untuk kedua maksud tersebut. Penguasa atas lembaga-lembaga yang berkepentingan memerlukan suatu pernyataan yang jelas tentang apa yang diusulkan, mengapa hal itu diusulkan,dan bagaimana usulan-usulan akan hal itu di sesuaikan. Apa yang dinamakan rencana pendidikan ( educational plan ) adalah merupakan pernyataan atas statement tersebut. Persiapan suatu pernyataan yang demikian dikenal sebagai perimusan rencana. Hal ini memerlukan keterampilan-keterampilan tertentu. Misalnya pernyataan haruslah singkat ringkas dan juga memadai
.
D. Tahap elaborasi rencana
Rencana pendidikan ditekankan sebagai suatu pernyataan yang singkat dan ringkas. Oleh sebab itu sebelum rencaa tersebut dapat diimplementsaikan haruslah dijabarkan atau dielaborasi, sehingga lebih diperluas sampai ke pokok-pokok dimana unit-unit kegiatan individual dapat dikenal secara lebih jelas. Ada dua langkah dalam proses penjabaran atau proseselaborasi.
a. Programming
Membagi rencana menjadi bidang-bidang kegiatan yang luas, yang msing-masing bertujuan untuk menyelesaikan suatu tujuan spesifik. Setiap bidang kegiatan dinamakan suatu program (programme ) biasanya suatu program meliputi semua aktivitas yang disupervisi oleh unit administratif yang sama atau yaang saling tergantung dan saling melengkapi, dimana semua harus dikerjakan secara simultan atau berurutan.
b. Identifikasi dan perumusan proyek
Masing-masing program terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dapat dikelompokan bersama untuk membentuk suatu unit bagi tujuan administratif atau tujuan perhitungan. Unit yang demikian dinamakan suatu proyek. Suatu priyek biasanya bermaksud untuk mencapai tujuan-tujua utama dari suatu program. Proyek-proyek harus diidentifikasi dan dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan. Perumusan proyek adalah tugas menguraikan secara rinci tentang lembaga, biaya, jadwal kerja dan lain-lain bagi suatu proyek. Sebelum suatu rencana dijabarkan ke dalam programing serta identifikasi dan perumusan proyek. Implementasi aktual tidak dapat dilaksanakan. Itulah sebabnya hal ini merupakan suatu tahap yang amat penting padabanyak negara. Masalah tanpa implementasi masalah telah dilacak sampai pada kelemahan hubungan ini dari suatu proses perencanaan.
E. Tahap implementasi rencana
Implementasi rencana pendidikan mulai apabila proyek-preyek individual siap untuk dilaksanakan. Dalam hal ini proses perencanaan menyatu dengan proses manajemen dari usaha pendidikan nasional. Penggunaan anggaran tahunan rencana tahunan sebagai instrumen pokok, suatu kerangka kerja organisasi dikembangkan untuk bermacam-macam proyek sumber-sumber ( manusia, uang dan bahan ) yang diperlukan untuk setiap proyek dilokasikan. Waktu yang diperlukan juga ditentukan. Lebih lanjut pekerjaaan lain yang lebihrinci seperti pendelegasian wewenang,garis komunikasi dan konsultasi. Pemberian tanggungjawab dan instalasi umpan balik secara mekanisme kontrol juga dikembangkan. Secara umum seluruh organisasi administratif pendidikan secara nasional terlibat dalam tahap implementasi rencana.
F. Tahap evaluasi, revisi dan perencanaan kembali
Sebagaimana rencana pendidikanyang sedang dilaksanakan. alat untuk menilai tingkat kemajuan dan mendeteksi deviasi merupakan suatu perangkat yang harus dikerjakan. Evaluasi secara normal merupakan suatu usaha pekerjaan yang berkelnjutan dan bersamaan dengan implementasi rencana, persiapan laporan dalam pokok-pokok yang tetap ( seperti tahunan, tengah tahunan atau separuh periode rencana atau bagian akhir ). Evaluasi melayani dua tujuan spesifik.
a. Evaluasi menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam rencana seperti sasaran yang tidak realitas, bagian anggaran yang tidak memadai, langkah-langkah yang tidak dikehendaki dan segera menyusun hal-hal untuk memperbaiki rencana bagi keseimbangan periode perencanaan. Dimana praktek rencana bergulir diadopsi,setiap tahun rencana bergulir membentuk revisi yang dikehendaki berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan.
b. Evaluasi berfungsi sebagai diagnosis dari tahap perencanaan dalam meletakkan dasar untuk perencanaan kembali. Dengan demikian menjadi permulaan dari sirklus perencanaan yang berikut. Dengan revisi rencana sekarang ini dan permulaaan perencanaan kembali pada siklus berikut proses perencanaan pendidikan harus kontinyu tanpa putus-putus.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari sisi pengambilan keputusan, perencanaan merupakan pengambilan keputusan untuk jangka waktu yang panjang atau yang akan datang mengenai apa yang akan dilakukan, bagaimana melakukannya, bilamana dan siapa yang akan melakukannya, dimana keputusan yang diambil belum tentu sesuai hingga implementasi perencaan tersebut dibuktikan di kemudian hari.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan, untuk itu kami berharap agar mendapatkan kritikan yang bersifat membangun dari para pembaca terutama dari dosen pembimbing agar supaya dalam penulisan makalah selanjutnya mendapatkan hasil yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Sagala,syaiful, 2007, Managemen Strategik dalam meningkatkan mutu pendidikan; Alpabeta, Bandung.
2. Usman, Husaini, 2006, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan; Bumi Aksara, Jakarta.
3. Tim UPI, 2007, lmu dan aplikasi Pendidikan, Ilmu Pendidikan Praktis ; Intitama, Bandung.
4. Harjanto, 2008. Perencanaan pengajaran ; Rineka Cipta,Jakarta.
5. Kamarga, Hansaswany, Perencanaan pengajaran sejarah, presentasi ;Internet
6. Investorword,com ,Internet
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemukan dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lainnya.
Oleh karena itu perlu adanya upaya yang simultan dilakukan agar konflik yang potensial tersebut dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Bagaimana perenan pendidikan terhadap kemajemukan di Indonesia dan konflik sosialnya?
2. Bagaimana perencanaan pendidikan multikultural dan pendidikan berbasis masyarakat?
3. Apa saja pilar-pilar pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perenan pendidikan terhadap kemajemukan di Indonesia dan konflik sosialnya.
2. Untuk mengetahui perencanaan pendidikan multikultural dan pendidikan berbasis masyarakat
3. Untuk mengetahui pilar-pilar pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial
Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya.
Masyarakat juga dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan ; medan kehidupan manusia yang majemuk ( plural: suku, agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya ). Manusia berada dalam multikompleks antarhubungan dan antaraksi di dalam masyarakat.
Sebuah masyarakat yang majemuk di dalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) :
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok –kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
4. Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini.
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif.
Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral, agama dan sosial.
B. Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :
“Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.”
Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
(1) Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, negara dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin tinggi dan ini sangat berbahaya.
Namun bila pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model pendidikan ini akan terus dikembangkan, maka yakin akan terus dikembangkan sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi adalah kemungkinann adanya keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan karakter manusia Indonesia.
Pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa : “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Kalimat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai negara dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan negara terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional.
Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ? Pendidikan salah satu jawaban utamanya. Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan jenjang pendidikan. Guru, kurikulum, sarana- prasarana, dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.
Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat karena yang ditonjolkan justru kedaerahan yang justru berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga akan banyak menimbulkan masalah ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta sarana dan prasanan pembelajaran sendiri dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam Negara-negara dan politik Indonesia. Ini tantangan bagi dunia pendidikan dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
C. Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. Al., (1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :
a. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
b. Learning to do (belajar untuk berbuat)
c. Learning to live together , learning to live with others (belajar untuk hidup bersama)
d. Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)
Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan bahwa :
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan negara dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks negara atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live together, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together, masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya egara politik nasional dengan tanpa mengabaikan negara politik daerah, (pemerintahan daerah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. Bahwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan multikulur untuk mencapai keharmonisan dalam kemajemukan serta untuk mencapai kehidupan Indonesia yang demokratis.
2. Bahwa ada dilema antara penyelenggaraan model pendidikan berbasis masyarakat dengan pendidikan multikultural, dimana tujuan awal dari keduanya berbeda. Namun begitu untuk mengoptimalkan potensi daerah terutama dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan , sesuai dengan konteks otonomi daerah, pendidikan berbasis masyarakat perlu dipikirkan formatnya, supaya penyelenggaraannya tidak semata-mata untuk menyelesaikan kekurangan dana dari negara, tetapi untuk mendukung terlaksananya pendidikan multikultur yang ditujukan agar tercapai kehidupan Indonesia yang harmonis dan berkualitas dengan karakter Indonesia.
3. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, diperlukan perubahan paradigma pendidikan, dan karenanya diperlukan peningkatan kompetensi pendidik untuk mewujudkannya, reformasi kurikulum yang mengarah pada pengakuan dan pengejawantahan kemajemukan masyarakat, serta penyusunan kembali teks books.
4. Sebagai masyarakat Indonesia, maka pendidikan kita juga harus pendidikan yang sesuai dengan kepentingan Indonesia, tertutama kepentingan untuk mewujudkan karater Indonesia dengan kemajemukannya.
B. Saran-saran
Kami sebagai pemakalah tentunya sangat mengharapkan masukan yang berupa kritik dan saran-saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, FIP IKIP, Yogyakarta, 1986
Enoch Jusuf, Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1995
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Rajawali C.V., 1984
Syam, Mohammad Noor, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1988
(On line), http://Pentingnya-pendidikan-untuk-masyarakat-majemuk.html, diakses pada tanggal 30 oktober
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik daripada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proprosi penganggur dari lulusan yang lebih rendah. Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendekatan tertentu dalam hal ini pendekatan ketenagakerjaan yang akan dibahas dibab berikutnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka muncul beberapa permasalahan diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan ketenagakerjaan?
2. Bagaimana hubungan pendidikan dengan pendekatan ketenagakerjaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi pendekatan ketenagakerjaan.
2. Untuk mengetahui hubungan perencanaan pendidikan dengan pendekatan ketenagakerjaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Ketenagakerjaan
Didalam pendekatan ketenagakerjaan ini usaha kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja. Pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian. Dalam keadaan seperti ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan lain sebagainya dan juga untuk calon pimpinan yang cerdas dalam profesinya . Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional. Dalam hal ini perencana pendidikan dapat meyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara-negara yang teknologinya sudah maju dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasional.
Perencana pendidikan yang menggunakan pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan antara output (lulusan) layanan pendidikan disetiap satuan pendidikan dengan tuntutan atau keterserapan atau kebutuhan tenaga kerja dimasyarakat. Membengkaknya angka antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang pengangguran misalnya menjadi pendorong untuk mempertemukan gape dilaksanakan. Karenanya wajar jika timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam suatu negara.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun kemasyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang dibutuhkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus dipersiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja yang harus diintegrasikan secara menyeluruh kedalam perencanaan ekonomi.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembentukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagai prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semata-mata dari pertumbuhan ekonomi dimasa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan. Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan- kelemahan , dimana ada tiga kemehan, yaitu:
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan karena pendekatan ini mengabaikan keberadaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan Sekolah Menengah Kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan.
3. Tujuan daripada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah-ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman.
B. Hubungan antara perencanaan pendidikan dengan Pendekatan Ketenagakerjaan
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu (baik seorang lulusan maupun seorang yang putus sekolah) dapat terjun kemasyarakat dengan sesuatu kemampuan untuk langsung menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan-lulusan dari berbagai tingkat dan jenis keahlian yang siap pakai.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunakan pendekatan tuntutan masyarakat seperti yang sudah pernah diuraikan, juga tidak mengabaikan pendekatan ketenagakerjaan. Disadari dengan sungguh-sungguh bahwa tanpa tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan
lapangan kerja yang memerlukannya tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Bahkan untuk mengambil jalan pintas, Pemerintah mengharapkan selainn melalui pendidikan formal, ditempuh juga pendidikan informal dalam langkah proses alih teknologi melaui usaha penanaman modal asing di Indonesia. Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan “ketenagakerjaan” ini di antara negara-negara yang sedang berkembang seperti juga halnya dengan kenyataan yang dialami di Indonesia. Beberapa hambatan pokok yang dihadapi antara lain.
a. Belum tersedianya data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan:
Berapa jumlah lapangan kerja yang ada menurut jenisnya, berapa jumlah tenaga menurut pendidikannya yang dapat diserap, berapa yang sudah ada dan berapa lagi yang diperlukan menurut kualifikasinya.
Bagaimana rencana pengembangan usaha/lapangan kerja ini dimasa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan.
Departemen sebagai instansi pemerintah pun belum siap, baru mulai merintis, melaksanakan perencanaan tenaga kerja untuk keperluan sendiri.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan, sangat memerlukan data dan proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa yang akan datang dari masing-masing lapangan kerja jika ingin memerlukan lulusan dari lembaga pendidikan yang dikelola Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
c. Perbandingan jumlah tenaga berdasarkan jenjang keahliannya masih sulit untuk dibakukan. Negara-negara yang sedang berkembang kadang-kadang cenderung menggunakan rumus yang sudah ada dan dipakai oleh negara yang sudah maju. Tapi hal ini sebenarnya kurang tepat sebab belum tentu sesuai dengan kondisi sosial budaya yang ada. Masing-masing negara masih perlu mengadakan penelitian dan penyesuaian lebih lanjut untuk keperluan sendiri.
d. Walaupun sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk setiap waktu mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya. Pemerintah atau Departeman Pendidikan dan Kebudayaan tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk mempersiapkan lulusan yamg siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukng tapi terlebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan alat dan ruang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya.
Dari apa yang digambarkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan perencanaan ketenagakerjan secara nasional tidak mungkin ditngani sendiri oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena hal ini nampaknya lebih bersifat perencanaan lintas sektoral. Memang diakui kebenaran pernyataan berikut, bahwa:
Pendidikan hanya dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan merangsang pengadaan lebih banyak lapangan kerja jika pendidikan tadi dapat manghasilkan orang-orang yang bermental pembangunan dan memiliki pengetahuan, keterampilan serta sikap yang menunjang pembsngunan nasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan, kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja, pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Pendekatan ini mendesain perencanaan pendidikan dikaitkan dengan pengembangan tenaga manusia melalui pendidikan guna memenuhi tuntutan kebutuhan sektor perekonomian. Pendekatan ini memprioritaskan perencanaan pendidikan pada peningkatan atau pengembangan pendidikan yang lebih tinggi (universitas), karena berhubungan langsung dengan penyediaan tenaga kerja yang dibutuhkan sektor perekonomian.
B. Saran
Diharapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan serta kritik dan saran kepada penulis jika dalam makalah ini terdapat kekeliruan-kekeliruan, sehingga penulis dapat memperbaikinya kembali demi untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Enoch, Jusuf, Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan, Bumi Aksara: Jakarta, 1995.
Ardiansyah, Asrori, Fungsi Pendidikan Sebagai Tenaga Kerja Siap Pakai, (on-line), (http://www.google.com), diakses tanggal 10 November 2011.